Sejatinya, dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah atau presiden, haruslah mengedepankan adu gagasan, adu prestasi, atau adu rekam jejak. Sehingga rakyat, yang pada akhirnya menjadi penentu siapa sosok yang paling tepat untuk memimpin mereka, disajikan menu kampanye yang benar-benar berkualitas.
Dengan demikian, rakyat akan memilih calon pemimpinnya secara objektif. Rakyat tidak lagi memilih hanya berdasarkan kedekatan suku, agama, ras, golongan, atau kedekatan identitas lainnya. Namun, rakyat akan memilih berdasarkan berbagai program dan gagasan yang mereka tawarkan. Rakyat akan memilih berdasarkan track record calon pemimpinnya.
Namun, melihat kenyataan yang ada saat ini, sepertinya masih butuh yang waktu yang tidak singkat bagi bangsa ini untuk mewujudkan hal tersebut. Dalam beberapa pemilihan kepala daerah belakangan ini, rakyat masih cenderung memilih calon pemimpinnya berdasarkan kedekatan identitas, di samping satu alasan klasik lainnya: politik uang.
Sebutlah apa yang baru-baru ini terjadi pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang mana Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, akhirnya keluar sebagai pemenang. Djarot-Sihar Sitorus, lawan tarung Edy-Ijeck, diserang habis-habisan dengan isu SARA. Djarot disebut sebagai antek partai penista agama. Sementara Sihar Sitorus disebut sebagai “kafir.”
Sebutan penista agama dan kafir disuarakan secara masif. Ceramah-ceramah di masjid-masjid yang semestinya memberi kedamaian dan kesejukan bagi setiap jemaah, namun oleh para pemuka agama itu justru dijadikan sebagai ajang untuk memprovokasi jemaah agar tidak memilih pemimpin penista dan kafir tadi.
Dan terbukti. Mayoritas rakyat yang setiap hari dicekoki dengan bahasa-bahasa rasis itu, mengantarkan pasangan Edy-Ijeck duduk sebagai orang nomor satu dan nomor dua di Sumatera Utara. Sesungguhnya, apa yang terjadi di Sumatera Utara itu adalah bentuk pengulangan dari “keberhasilan” para elite rasis itu di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu.
Pilkada DKI Jakarta, adalah awal dari semakin terpolarisasinya rakyat akibat politisasi agama yang secara jorjoran dilakukan. Ahok, seorang Tionghoa beragama Kristen itu, oleh para kaum rasis itu dijadikan sebagai sasaran tembak. Ia diserang dari segala sudut agar calon yang mereka dukung, Anies-Sandi, berhasil memenangi laga. Segala jurus dimainkan. Bahkan orang mati pun turut dipolitisasi, dengan tidak mensalatkan para pendukung Ahok-Djarot.
Demo berjilid-jilid yang dikomandoi oleh Rizieq Shihab untuk menuntut Ahok agar segara mundur dari jabatannya, serta agar segera dikirim ke penjara karena mereka tuduh sebagai penista agama itu, semakin memperkeruh suasana. Jakarta berubah menjadi kota yang tidak menghargai perbedaan. Jakarta berubah menjadi kota yang sangat tidak toleran.
Dan imbas dari permainan isu SARA setahun lalu itu masih terasa hingga kini. Rakyat belum sepenuhnya bersatu. Terlebih-lebih menjelang Pilpres yang semakin mendekat, politisasi agama dan isu SARA, kembali berhembus kencang. Adalah kubu Prabowo-Sandi yang seakan-akan menganggap dirinya paling Islami dan paling peduli nasib umat.
Ijtima Ulama I dan II seperti mengokohkan calon yang didukung oleh kumpulan partai-partai Allah itu sebagai capres/cawapres yang mendapat dukungan dari ulama dan umat Islam. Sementara Jokowi-Ma’ruf mereka anggap sebagai calon yang didukung oleh partai penista agama, calon yang dekat dengan asing dan aseng, serta calon yang berbau komunis.
Para elite pendukung capres nomor urut 02 itu begitu lantang menyuarakannya. Sehingga jadilah dunia media sosial dipenuhi caci maki kepada pemerintah (calon petahana), sebagai pemerintah PKI yang pro asing dan aseng, tanpa mereka pernah mampu menyajikan data. Mereka hanya bersuara tanpa pernah mengerti apa yang mereka suarakan.
Prabowo mereka gambarkan sebagai titisan Allah, sebagai satu-satunya pemimpin yang mampu mengayomi umat muslim di Indonesia. Djoko Santoso bahkan menyetarakannya dengan nabi Musa. Pun Neno Warisman. Ia menyebut bahwa bagi mereka yang mendukung Prabowo, dipastikan masuk surga. Kunci surga dipegang oleh Prabowo?
Namun segala puja-puji mereka kepada Prabowo berubah menjadi musibah. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo yang mereka agung-agungkan itu kerap melakukan blunder. Prabowo misalnya tidak mampu menyebut “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” dengan benar. Ia juga salah melafalkan “Shallallahu’alaihi wassalam.”
Ia juga tidak bisa berwudu dengan benar. Jika berwudu saja ia salah, apa artinya itu? Bahwa Prabowo memang jarang sekali, atau mungkin tidak pernah melaksanakan salat. Sebab jika ia rajin salat, ia tidak mungkin salah berwudu. Untuk hal-hal yang paling mendasar dalam Islam saja pun, ternyata Prabowo tidak mampu melakukannya.
Pun tata cara berziarah, Prabowo tidak paham. Ia bahkan pernah terlihat bersujud menghadap kubur, hal yang sangat dipantangkan dalam ajaran Islam. Jadi, jika pendukungnya menyebut bahwa sejak tahun 1980-an Prabowo sudah mualaf, dan bahkan mantan istrinya, Titiek Soeharto, menyatakan bahwa sejak kecilnya Prabowo sudah beragama Islam, lalu kenapa Prabowo seperti tidak paham aturan agama yang ia peluk?
Prabowo hanya Islam KTP? Jika melihat berbagai blunder yang ia lakukan selama ini, sepertinya, ya. Prabowo nampak tidak paham ajaran Islam yang sudah berpuluh-puluh tahun ia anut. Ketika ia ditantang untuk menjadi imam salat, Prabowo segera mengibarkan bendera putih. Menjadi imam salat ternyata lebih susah baginya ketimbang menculik puluhan aktivis.
Pun tantangan yang datang dari Ikatan Dai Aceh untuk melaksanakan tes baca Alquran bagi capres dan cawapres, Prabowo tidak bisa menyanggupinya. Sebab ia memang tidak mampu. Jika ia paksakan, takutnya ia akan terkencing-kencing, muntah-muntah, mengelepar-gelepar, hingga ia akhirnya tak sadarkan diri.
Mereka lalu berdalih bahwa Indonesia butuh pemimpin bangsa yang majemuk, bukan pemimpin yang pandai baca Alquran atau pemimpin yang bisa mengimami salat. Otak mereka terbalik-balik bukan? Mereka yang memulai menjual isu agama dalam aktivitas politik mereka, namun kini, mereka pula yang menentangnya. Dasar pemikiran sontoloyo!
Mengucapkan selamat natal, mereka sebut haram. Namun ketika Prabowo sampaikan selamat natal, mereka diam. Mengikuti perayaan natal, mereka sebut haram. Namun ketika Prabowo ikut perayaan natal keluarga besarnya, semuanya juga diam. Ternyata selama ini, mereka menjadikan agama hanya sebagai pemuas nafsu politik. Tidak lebih.
Berhentilah mempolitisasi agama! Jika Prabowo tidak mengerti ajaran Islam tidak perlu dipaksakan agar ia seolah-olah mengerti. Sebab itu menjadi beban yang cukup berat baginya. Jika memang ia lebih nyaman merayakan natal seperti yang ia tunjukkan dalam video yang belakang dihapus itu, ya biarkan saja. Tidak perlu dihalangi. Mudah toh!
Sumber: https://seword.com/politik/politisasi-agama-berakhir-maut-prabowo-hanya-islam-ktp-akhirnya-terungkap-B4iqht90Y
Comments
Post a Comment